SUBANGPOST.COM – Farhan (15), siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs) Bakti Satria di Dusun Keboncau, Desa Ciasem Baru, Kecamatan Ciasem, Kabupaten Subang, terancam putus sekolah akibat tunggakan biaya pendidikan sebesar Rp1.100.000.
Farhan merupakan anak dari pasangan Warsid (65) dan Roliah (53), petani miskin yang tinggal di Dusun Keboncau RT 003/RW 002. Keterbatasan ekonomi keluarga membuat mereka kesulitan melunasi biaya sekolah Farhan.
Kepala MTs Bakti Satria, Haeryadi, membenarkan adanya tunggakan tersebut. Ia menjelaskan bahwa bantuan operasional dari pemerintah belum mencukupi seluruh kebutuhan sekolah, sehingga sebagian biaya masih dibebankan kepada orang tua siswa.
“Bantuan dari pemerintah belum cukup untuk menutupi seluruh kebutuhan operasional sekolah, termasuk untuk membayar honor guru,” ujarnya.
Pihak sekolah berharap ada perhatian dari pemerintah, baik pusat maupun daerah, agar siswa dari keluarga tidak mampu tetap bisa melanjutkan pendidikan.
Sementara, bagi Warsid dan istrinya, biaya sebesar itu menjadi tembok tinggi yang sulit mereka panjat. Bagi sebagian orang, jumlah itu mungkin hanya setara dengan makan malam mewah. Tapi bagi Warsid, itu adalah dinding penghalang antara sang anak dan masa depan.
Warsid yang setiap harinya bergelut dengan kemiskinan dan harapan di tengah beban ekonomi yang menghimpit, berjalan terseok untuk memenuhi biaya pendidikan anaknya.
Bukan karena lelah fisik semata, melainkan karena kesulitan menafkahi kebutuhan keluarga hingga menjadi beban batin yang tak kunjung reda. Kondisi tersebut membuat mereka kesulitan memenuhi kebutuhan harian, termasuk biaya pendidikan anak.
“Saya sudah berusaha cari pinjaman ke tetangga, tapi semua juga sedang susah. Kalau bisa, saya ingin Farhan tetap sekolah. Tapi sekarang untuk makan saja sudah berat,” ujar Warsid saat ditemui di rumahhnya yang sederhana berukuran 3×4 meter.
Dengan mata berkaca-kaca, Warsid menggantungkan harapan kepada pemerintah supaya pendidikan anaknya tetap berlanjut. Ungkapan itu ia utarakan bukan bermaksud menceritakan kekurangan materi, tapi ungkapan hati seorang ayah yang merasa gagal mewujudkan harapan dan impian anaknya.
“Jangankan untuk bayar sekolah, untuk makan sehari-hari saja kami masih kekurangan,” ucapnya lirih, seraya menatap kosong ke arah halaman rumahnya.
Situasi yang dialami Warsid dan istrinya mencerminkan realitas yang masih dihadapi oleh banyak keluarga di pelosok negeri, di mana pendidikan yang seharusnya menjadi hak dasar setiap anak, justru terancam oleh keterbatasan ekonomi.
Warsid menyampaikan harapannya kepada pemerintah, khususnya Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, agar memberikan perhatian terhadap anak-anak yang berisiko putus sekolah.
“Kami memohon bantuan dari Bapak Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi agar anak kami dapat terus melanjutkan pendidikan tanpa merasa malu,” ungkapnya dengan suara penuh harap.
Permintaan Warsid bukan sekadar bentuk keluhan, melainkan seruan tulus dari seorang ayah yang ingin melihat anaknya tetap memiliki masa depan yang layak melalui jalur pendidikan.
Ia berharap agar negara hadir dan menunjukkan keberpihakan nyata bagi keluarga-keluarga yang tengah berjuang dalam perih dan derita akibat himpitan beban ekonomi.
Pemerintah daerah dan instansi terkait didorong untuk segera mengambil langkah konkret guna memastikan pendidikan tetap dapat diakses oleh seluruh anak bangsa, tanpa terkecuali. (Red)