Ciasem SUBANGPOST.COM– Dugaan praktik pungutan liar (pungli) kembali mencoreng dunia pendidikan. Kali ini, seorang guru Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Kecamatan Ciasem, Kabupaten Subang, Jawa Barat, dengan berani membongkar kebusukan yang terjadi di internal Dinas Pendidikan setempat.
Pengakuan tersebut disampaikan oleh seorang guru anonim yang curhat melalui unggahan viral di akun Instagram @broron. Ia menyebut adanya tekanan dari oknum Koordinator Wilayah (Korwil) Dinas Pendidikan Kecamatan Ciasem yang kerap meminta setoran uang secara tidak resmi.
Dalam curhatannya, guru tersebut mengaku kerap diminta untuk menyetorkan uang dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) setiap kali pencairan dilakukan. Nominal yang ditentukan, disebut-sebut mencapai Rp1.200.000 per sekolah.
“Dan itu ngambil dari Dana BOS masing-masing sekolah. Terus terang saya sih gak setuju. Harusnya dana itu dialokasikan untuk kebutuhan sekolah dalam memenuhi kebutuhan siswanya,” tulis guru tersebut.
Lebih memprihatinkan, pungutan liar ini disebut dilakukan atas perintah seorang oknum yang dikenal dengan inisial “Pak Ggn”, yang beroperasi dari kantor PGRI Kecamatan Ciasem. Guru tersebut mengaku, kepala sekolah bahkan secara langsung memerintahkan bendahara untuk menyetorkan uang ke Pak Ggn.
Kasus ini mencuat setelah unggahan viral tersebut tersebar pada pertengahan Mei 2025. Guru tersebut mengaku, praktik pungli sudah lama terjadi dan semakin menjadi-jadi menjelang pencairan BOS dan pengangkatan guru PPPK.
“Kemarin pagi-pagi banget semua kepsek 54 sekolah (termasuk 15 sekolah yang terciduk temuan oleh BPK) kumpul juga sama orang kantor di PGRI Kecamatan Ciasem, namanya Pak Ggn,” tulisnya lagi.
Ia juga mengungkap bahwa 15 sekolah yang bermasalah dalam audit BPK diduga “diselamatkan” dengan cara memaksa sekolah lain menyumbang melalui pungutan tersebut.
Menurut informasi dari curhatan tersebut:
Setiap sekolah diminta setoran bulanan dari dana BOS sebesar Rp2 juta hingga Rp4 juta, tergantung ukuran sekolah.
Sumbangan “paksa” juga diminta dari para guru PPPK baru, minimal Rp50.000, dengan dalih “sumbangan sukarela”.
“Kalau sekolah cair BOS, setiap bulan dipotong oleh orang kantor. Ada yang Rp2 juta, Rp3 juta bahkan Rp4 juta,” ungkapnya.
Praktik tersebut diduga terjadi sistematis di seluruh wilayah kerja Dinas Pendidikan Kecamatan Ciasem, Kabupaten Subang, berpusat pada kantor PGRI sebagai tempat transaksi.
Dana BOS seharusnya digunakan untuk kebutuhan operasional dan peningkatan kualitas pendidikan siswa. Namun, jika dipotong secara tidak sah, maka tujuan program pemerintah untuk pemerataan pendidikan justru gagal dan merugikan anak-anak didik.
Guru tersebut juga mengungkap bahwa banyak rekan sejawatnya enggan bersuara karena takut ditekan atau mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari atasan.
“Karena bisa ditandai atau bahkan dipersulit kalau ada keperluan. Bahkan bisa di-bully,” tulisnya dengan nada sedih.
Kasus ini menuai sorotan dari warganet dan pegiat pendidikan. Mereka mendesak Dinas Pendidikan Kabupaten Subang, Inspektorat, hingga aparat penegak hukum segera turun tangan. Jika benar terbukti, maka tindakan tegas harus diberikan agar praktik kotor seperti ini tidak terus merusak sistem pendidikan.
“Ini bentuk penindasan struktural terhadap guru. Harus ada evaluasi total terhadap fungsi pengawasan di tingkat kecamatan,” ujar pemerhati pendidikan lokal.( Rudianto)