SUBANGPOST.COM – Seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun mengenai “gerak sejarah”, bahwa setiap masyarakat akan mengalami tiga fase kehidupan: lahir, berkembang, dan akhirnya mati. Hal ini juga terjadi pada Kerajaan Pajajaran.
Artikel ini mengulas tentang runtuhnya Kerajaan Pajajaran dan munculnya hegemoni Kesultanan Banten yang bercorak Islam.
Kerajaan Pajajaran yang berpusat di Tanah Pasundan memiliki masa keberlangsungan yang sangat panjang, yakni sejak tahun 923 hingga akhirnya runtuh pada 1579. Artinya, kerajaan ini bertahan selama hampir enam abad.
Awal Berdirinya Kerajaan Pajajaran
Kerajaan Pajajaran merupakan kerajaan bercorak Hindu yang diperkirakan berpusat di Pakuan (sekarang Bogor), Jawa Barat. Dalam berbagai naskah kuno Nusantara, kerajaan ini sering disebut sebagai Negeri Sunda, Pasundan, atau Pakuan Pajajaran.
Berdasarkan Prasasti Sanghyang Tapak, Kerajaan Pajajaran didirikan oleh Sri Jayabhupati pada tahun 923 Masehi. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja atau yang lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi (1482–1521 M).
Di bawah kepemimpinan Prabu Siliwangi, kerajaan berada dalam kondisi tertib dan damai. Ia memberikan perhatian besar terhadap pembangunan agama, pertahanan, dan infrastruktur seperti parit, jalan, serta susunan formasi tempur darat.
Namun, angkatan laut kerajaan ini dikenal cukup lemah.
Kerajaan Pajajaran akhirnya runtuh pada tahun 1597 M setelah diserang oleh Kesultanan Banten.
Sumber Sejarah Kerajaan Pajajaran
Informasi tentang Kerajaan Pajajaran dapat ditelusuri melalui naskah-naskah kuno seperti Babad Padjajaran, Carita Parahyangan, dan Carita Waruga Guru, serta dari berbagai prasasti, seperti Prasasti Batu Tulis, Prasasti Sanghyang Tapak, dan Prasasti Kawali.
Kerajaan Pajajaran merupakan kelanjutan dari kerajaan-kerajaan sebelumnya, yakni Tarumanegara, Sunda, Galuh, dan Kawali. Sri Jayabhupati mendirikan kerajaannya di Pakuan pada 923 M, dan kemudian takhta diwariskan kepada Rahyang Niskala Wastu Kancana yang memindahkan pusat kekuasaan ke Kawali.
Pada tahun 1475, kerajaan terbagi menjadi dua: Kerajaan Sunda yang dipimpin oleh Susuktunggal dan Kerajaan Galuh di bawah kekuasaan Prabu Dewa Niskala. Kejatuhan Majapahit pada 1478 turut memengaruhi wilayah ini, ditandai dengan kedatangan kerabat Majapahit ke Kawali, termasuk Raden Baribin yang diterima sebagai menantu oleh Prabu Dewa Niskala.
Namun, tindakan Prabu Dewa Niskala yang menikahi seorang perempuan tunangan orang lain dan juga kerabat Majapahit, melanggar dua larangan adat. Hal ini memicu ketegangan dengan Susuktunggal. Untuk meredakan konflik, kedua penguasa sepakat untuk mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan kepada Ratu Jayadewata.
Pada tahun 1428, Ratu Jayadewata, yang dikenal juga sebagai Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi, dinobatkan untuk memerintah Kerajaan Sunda dan Galuh yang bersatu kembali di bawah nama Kerajaan Pajajaran, dengan pusat pemerintahan di Pakuan Pajajaran.
Letak Kerajaan Pajajaran
Menurut peta Portugis dan catatan Tome Pires, Kerajaan Pajajaran berlokasi di wilayah yang kini dikenal sebagai Kota Bogor. Nama Pakuan berasal dari bahasa Jawa Kuno pakwwan, yang berarti “kemah” atau “istana”. Maka, Pakuan Pajajaran dapat diartikan sebagai “istana yang berjajar”.
Menurut naskah Bujangga Manik, batas-batas wilayah kerajaan meliputi Sungai Cimapali (Kali Pemali) di timur, Selat Sunda di barat, Pantai Utara Jawa hingga Brebes di utara, dan Samudera Hindia di selatan.
Petunjuk lainnya ditemukan dalam kropak atau naskah daun lontar nomor 406 dari Museum Pusat, yang mencantumkan kisah pendirian Keraton Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati, menguatkan bahwa pusat pemerintahan berada di hulu Sungai Ci Pakancilan.
Prasasti Batu Tulis
Salah satu peninggalan penting Kerajaan Pajajaran adalah Prasasti Batu Tulis yang terletak di Bogor, dengan ukuran 17×15 meter. Prasasti ini berisi penghormatan terhadap Prabu Sri Baduga Maharaja dan mencatat pencapaian serta silsilahnya. Ia disebut sebagai raja yang membuat parit pertahanan, membangun hutan lindung Samida, dan mendirikan tempat suci Telaga Rena Mahawijaya.
Puncak Kejayaan Pajajaran
Masa keemasan Kerajaan Pajajaran terjadi pada masa pemerintahan Prabu Siliwangi (1482–1521). Ia dikenang sebagai pemimpin besar yang membawa kesejahteraan dan perdamaian. Menurut Carita Parahyangan, pada masa ini banyak rakyat Pajajaran yang memeluk agama Islam.
Meskipun Prabu Siliwangi kurang menyukai kedekatan antara Cirebon dan Kesultanan Demak, ketegangan tersebut tidak pernah berkembang menjadi perang terbuka.
Penulis: Sacim Zein
(Dihimpun dari berbagai sumber)